Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Belanja Infrastruktur (kadang enggak) Berpengaruh sama Pertumbuhan Ekonomi


Berawal dari Pengalihan Subsidi BBM

November 2014,  demonstasi pecah di hampir seluruh kota besar di Indonesia ketika pemerintah mulai merealisasikan wacananya untuk mencabut subsisi BBM.  Harga BBM naik karena tak lagi disubsidi. Masyarakat pun khawatir harga sembako akan ikut naik. Premium yang biasanya dijual seharga Rp 6.500 per liter naik menjadi Rp 8.500 per liter. Cukup berat, hingga membuat banyak masyarakat rela mengantri berjam-jam di SPBU sehari sebelum kenaikannya demi mendapat BBM dengan harga lama yang lebih murah.

Kekhawatiran kenaikan harga kebutuhan pokok muncul dimana-mana, mahasiswa turun ke jalan, buruh minta kenaikan upah, wong cilik takut penghasilannya tidak lagi bisa membeli cukup beras seperti biasanya. 

Di sisi lain, alasan pemerintah mencabut subsidi BBM sebenarnya cukup masuk akal. Kenaikan harga minyak mentah yang menyentuh $60an ber barel saat itu membuat APBN tekor ketika terus-menerus menanggung subsidi. Wacana pencabutan subsidi BBM terus menguat hingga akhirnya  pemerintah memutuskan harga BBM menggunakan meknisme pasar yang tergantung harga minyak dan kurs rupiah. Tok! Subsidi BBM dicabut.

Saya cukup mengapresiasi langkah sosialisasi pemerintah saat itu yang menggunakan istilah Penyesuaian Harga alih-alih kenaikan harga atau pencabutan subsidi. Cukup banyak masyarakat yang jadi  memaklumi langkah pemerintah. Beberapa mahasiswa bahkan berani melawan arus dengan berdemo mendukung pencabutan subsidi BBM. Dari rangkaian kejadian itu, selain memang momen harga minyak yang kemudian terjun bebas, bisa dibilang peluncuran Pertalite oleh Pertamina menjadi salah satu katalis utamanya. Harga Pertalite masih bisa dibilang bersahabat tapi memiliki oktan lebih tinggi hingga membuat orang jadi lupa dengan premium bersubsidi yang memang sudah waktunya ditinggalkan.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai terbiasa dengan harga BBM yang naik turun seiring mekanisme pasar. BBM jenis premium saat ini (13 April) malahan hanya berharga Rp 6.450 per liter, lebih murah dibanding saat masih disubisidi tahun 2014 lalu. BBM bulan depan bahkan bakal murah lagi jika melihat harga minyak saat ini yang sangat murah. Masyarakat  kini bahkan mulai lupa bahwa pemerintah pernah memberi subsidi BBM besar besaran. Mungkin juga sudah lupa pernah ada demo menolak penghapusan subsidi besar-besaran. Situasinya jelas sudah berubah sekarang. Belanja Subsidi BBM dipotong habis lalu digeser ke proyek infrastruktur. Alih-alih berita harga BBM, kita sekarang semakin sering mendengar pemerintah meresmikan proyek infrasturktur; jalan tol, jalan raya, waduk, hingga jembatan megah mulai dibangun. Saya jadi berandai-andai jika saja pemerintah mengabulkan tuntutan demo pembatalan pencabutan subsidi BBM waktu itu, mungkin saja kita sekarang tidak pernah sefamiliar ini dengan berita-berita pembangunan infrastruktur ataupun Dana Desa. 

Ya meskipun bisa BBM lebih murah sih.

Dana Infrastruktur “Melimpah”

Pembangunan infrastruktur besar-besaran tentu bisa terjadi karena terpenuhinya anggaran infrastruktur itu sendiri. Di balik fakta kebutuhan dana infrastruktur yang memang belum mampu dipenuhi pemerintah, anggaran infrastruktur Indonesia sebenarnya telah naik secara signifikan. Dilansir dari data Kementerian Keuangan, anggaran Infrastuktur pada tahun 2018 telah naik 167,2% menjadi Rp 420,5 Triliun dibanding tahun anggaran 2014. Saat itu, anggaran infrastruktur hanya Rp157,4 Triliun. Coba bandingkan dengan jumlah anggaran subsidi BBM yang mencapai Rp341,8 Triliun pada tahun yang sama. Masif.

Anggaran subsidi BBM/energi memang terus berangsur menurun untuk digeser ke infrastruktur dan  hingga saat 2018 sendiri telah turun 69,8%. Jika melihat angkanya yang masih Rp103,37 Triliun, tentu masih besar. Sisi positifnya adalah sebagian subsidi itu digunakan untuk  Program BBM Satu Harga. Saudara kita di Papua tak lagi harus beli BBM Rp50.000 per liter.  


Pengurangan subsidi energi tentu membuat kapasitas fiskal pemerintah meningkat. Kebijakan yang menurut saya sangat revolusioner jika melihat lagi sejarah bahwa pemerintah selalu memberikan subsidi BBM sejak tahun 1980 yang kala itu harga premium masih Rp150 dan solar Rp52,50 per liter. Kini, pemerintah jadi makin leluasa membelanjakan uangnya untuk kepentingan lainnya yang lebih penting dan tepat sasaran. Tahun 2015, pemerintah bahkan mulai mengucurkan Dana Desa. Sesuatu yang telah diperjuangkan lama dan mungkin saja tak pernah terealisasi jika subsidi BBM masih ada.

Kabar kalo pemerintah menargetkan pengalokasian Dana Desa sebesar Rp400 Triliun tahun 2019-2024 membuat saya bahagia, karena memang saya dari desa. Saya ingin mendengar lebih banyak kabar pembangunan desa. Kabar peningkatan dana desa yang memang hanya digunakan untuk Pembangunan Infrastruktur dan Pemberdayaan masyarakat membuat masyarakat desa semakin berharap tingkat pembangunan masyarakat yang semakin tinggi.

Dana Infrastruktur Tak Jamin Pertumbuhan Ekonomi (?)

Namun ketika ditanya apakah benar masifnya dana infrastruktur akan langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi? Jawabannya belum tentu.  Saya mencoba mencari tahu hal ini dari pemberitaan media masa dan jurnal-jurnal ilmiah Indonesia hasilnya adalah scattered, beragam dan tersebar.  Ada yang menyebutkan dana infrasturktur berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, ada yang menyebutkan  berpengaruh minim, ada pula yang menyebutkan kalo dana infrastruktur sebenarnya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Artikel paling menarik adalah kajian Kemenkeu itu sendiri. Menurut Kemenkeu, Setiap 1% kenaikan anggaran infrastruktur, pertumbuhan ekonomi akan naik 0,169%. Dari sini dapat diketahui bahwa sebenarnya anggaran infrastruktur ternyata tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pembangunan tol trans jawa memang meningkatkan konektivitas yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi, namun di jalan pantura yang tergantikan jalan tol, para penjual oleh-oleh dan pemilik tempat makan sedang merasakan penurunan ekonomi.

Pertumbuhan anggaran infrastruktur bukanlah faktor dominan untuk pertumbuhan ekonomi, lain halnya dengan faktor tenaga kerja. Menurut Kemenkeu, setiap 1% kenaikan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi akan meningkat 1,12%. Di sini ketahuan bahwa tenaga kerja lebih memiliki faktor dominan terhadap pertumbuhan daripada anggaran infrastruktur.
Meningkatnya anggaran infrastruktur diharapkan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang nantinya juga meningkatkan pertumbuhan. Namun kenapa pengaruh anggaran infrasturktur saat ini kecil sekali? Untuk menjawabnya, mari kita lihat proses pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung dari gambar di bawah ini.

Pembangunan Jembatan Holtekamp

Pembangunan LRT

Pembangunan Waduk
Jawabannya adalah karena belanja infrastruktur cenderung bersifat padat modal, bukan padat karya. Banyak proyek infrastruktur bersifat capital intensive bukan labour intensif hingga tidak terlalu optimal menyerap tenaga kerja lokal. Seperti yang sedang terjadi di tempat saya. Ketika rencana pembangunan jalan tol Jogja-Solo hendak terealisasi, tidak ada warga yang berharap dapat bekerja di sana karena semua tahu pekerjanya adalah dari kontraktor.

Apakah capital intensive salah? tentu tidak serta merta dijawab seperti itu. Beberapa proyek memang mengharuskan butuh banyak mesin dan alat, bukan banyak orang. Kita tidak mengharapkan banyak orang menggantikan crane untuk mengangkat beton kan?.

Pendekatan yang dapat dilakukan adalah optimalisasi penyerapan tenaga kerja melalui dana desa. Jumlah dana desa yang terus meningkat, meningkatkan pula jumlah proyek infrastruktur desa hingga dapat menyerap lebih banyak masyarakat desa. Kebijakan proyek dana desa yang harus dikerjakan dengan swakelola memungkinkan hal itu dioptimalkan. Kita tinggal menunggu realisasi upaya pemerintah mengubah peraturan PBJ LKPP yang mewajibkan penggunaan kontraktor untuk proyek di atas Rp200 juta.  Jika proyek-proyek tersebut dapat dilaksanakan swakelola oleh masyarakat desa, perputaran uang di desa akan semakin meningkat.

Memang Bukan Faktor Dominan, Tapi Faktor Penting

Anggaran infrastruktur memang tak serta merta meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun infrastruktur menyediakan modal dasar untuk ekonomi tumbuh lebih cepat.   11 Desember 2019, Menko Perekonomian saat itu, Darmin Nasution meresmikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong. Beberapa perusahaan besar memilih bergabung ke KEK seperti perusahaan pengolahan kayu, smelter nikel, semen dan aspal. Sebanyak 15.024 tenaga kerja diperkirakan dapat diserap KEK dan diproyeksikan terdapat peningkatan Rp10,64 Triliun Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten Sorong pada tahun 2030. Pertumbuhan ekonomi Papua dapat diakselerasi.
Untuk merealisasikannya, pemerintah membangun pembangkit listrik  46MW di Sorong, PAM sunga Klasafet kapasitas 500 liter/detik, jalan hingga drainase. Ya, itu semua adalah belanja infrastruktur.

Anggaran infrastruktur memang tidak dominan menyokong langsung pertumbuhan ekonomi. Tapi infrastruktur menyediakan sarana untuk ekonomi berkembang lebih pesat. Tanpa sarana infrastruktur, pertumbuhan ekonomi bahkan mungkin tidak ada. Ekonomi tumbuh bukan karena harapan, tapi karena adanya sarana dan unsur-unsur yang memungkinkan dia tumbuh. (kdp)  


Posting Komentar untuk "Ketika Belanja Infrastruktur (kadang enggak) Berpengaruh sama Pertumbuhan Ekonomi"