Penerapan FCA dan Risiko Pembengkakan Kerugian Negara
Akhir Maret 2024 lalu,
Bursa Efek Indonesia mengadopsi kebijakan baru dengan mengimplementasikan Papan
Pemantauan Khusus tahap II (full periodic call auction) yang bertujuan
meningkatkan likuiditas saham dengan kondisi tertentu. Harga saham yang selama
ini dikenal memiliki batas bawah sebesar Rp50, kini dapat terus diperdagangkan
sampai dengan harga Rp1 per saham. Imbasnya, beberapa saham yang dikuasai
pemerintah telah terjun bebas lebih dari minus 55% bahkan sampai minus 96%
hanya dalam tiga bulan saja sejak kebijakan ini diimplementasikan. Jadi, apa
itu Papan Pemantauan Khusus dan bagaimana potensi risiko yang dihadapi
pemerintah?
Papan Pemantauan
Khusus Full Periodic Call Auction (FCA)
Papan Pemantauan
Khusus tahap II (Full Periodic Call Auction) atau yang dikenal dengan
sebutan FCA adalah papan perdagangan yang berisi saham-saham yang memenuhi
salah satu dari sebelas kriteria pemantauan khusus. Kriteria yang dimaksud
antara lain mendapat opini disclaimer, memiliki ekuitas negatif,
dimohonkan PKPU atau pailit, hingga memiliki likuiditas rendah (selengkapnya
gambar terlampir). Jelas, dari kriterianya saja, saham-saham yang masuk papan
khusus ini nampaknya tidak terlalu memiliki fundamental yang kokoh dan prospek
bisnis yang cerah. Aspek teknis perdagangan FCA tidak akan dibahas di sini.
![]() |
Kriteria Papan Pemantauan Khusus |
Sekilas, nampaknya kebijakan
ini tidak akan terlalu berpengaruh bagi pemerintah yang telah mengatur
kualifikasi minimal saham-saham yang dapat dibeli badan-badan pengelola dana
masyarakat kita. Misalnya saja, PT Taspen (persero) dan PT Asabri (persero) hanya
boleh membeli saham dengan tiga kriteria minimal yaitu berfundamental positif,
prospek bisnis positif, dan nilai kapitalisasi pasar minimal Rp5 triliun yang
diatur dalam beberapa PMK pengelolaan iuran. Dengan ketiga kriteria minimal
tersebut, nampaknya saham-saham yang akan dipilih untuk masuk di dalam
portofolio susah untuk masuk dalam papan pemantauan khusus.
Namun, ketika melihat kembali bahwa pemerintah
melalui Kejaksaan Agung berserta PT Asabri ternyata masih memiliki banyak saham
yang masih “nyangkut” pada saham-saham yang masuk ke papan pemantauan
khusus, tentunya hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus juga. Data
Nasib Portofolio
Saham yang Dikuasai Negara terdampak FCA
Ada hal menarik
jika kita menelusuri laporan kepemilikan saham yang diunggah PT Kustodian
Sentral Efek Indonesia (KSEI) per Juni 2024 ini melalui aplikasi stockbit.
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI tercatat
menjadi pemegang saham dengan porsi kepemilikan saham di atas 5% pada 21 emiten
saham, tetapi 17 emiten diantaranya masuk ke papan pemantauan khusus.
Portofolio: Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus
Kejaksaan RI
Di saat yang sama,
PT Asabri (persero) tercatat menjadi pemegang signifikan pada 17 emiten dengan
11 emiten diantaranya masuk papan pemantauan khusus. Banyaknya emiten saham
dalam penguasaan pemerintah yang masuk ke papan pemantauan khusus membuat
penurunan harga tidak bisa dihindari dan risiko pembengkakan nilai kerugian
negara semakin nyata.
Portofolio: PT Asabri (Persero)
Petaka itu
benar-benar tiba ketika harga saham-saham penguasaan negara langsung terjun bebas sesaat setelah BEI
mengumumkan pemberlakuan Full Periodic Call Auction pada 25 Maret 2024
lalu. Para pemegang saham publik yang selama ini terjebak dalam harga terendah
gocap seketika langsung berebut menjual sahamnya yang membuat harga jatuh tak
berdaya.
![]() |
Dampak FCA terhadap harga saham |
Lihat saja saham PT
Bumi Teknokultura Unggul Tbk (kode: BTEK) yang 5,15% sahamnya dalam penguasaan
Kejagung RI telah jatuh sampai minus 98% dari Rp50 ketika belum diberlakukannya
FCA hingga menjadi Rp1 pada 6 Juni ini. Secara estimasi, nilai pasar saham BTEK
yang dikuasai Kejagung telah anjlok signifikan dari Rp119,06 Miliar menjadi
hanya Rp2,38 Miliar hanya dalam tiga bulan saja.
Hal yang sama juga
terjadi pada PT Pool Advista Finance Tbk (kode: POLA) yang 7,66% sahamnya
dikuasai PT Asabri (Persero). Harga saham POLA ikut terjun bebas menjadi Rp10
padahal sebelumnya harga sahamnya selalu nyaman tertahan pada harga Rp50
sebelum penerapan FCA. Akibatnya, secara matematis, nilai pasar saham POLA yang
dimiliki PT Asabri (Persero) telah turun signifikan dari Rp12,81 Miliar menjadi
Rp2,56 miliar saja.
Yang
Terburuk Belum Datang
Berdasarkan data
KSEI, Kejagung RI menjadi penguasa signifikan atas 5 emiten saham yang masuk papan
pemantauan khusus. Harga semua emiten tersebut telah turun antara 50% hingga
98% yang membuat nilai pasarnya telah turun signifikan dari Rp163,04 Miliar
menjadi hanya Rp9,031 Miliar. Hal lebih buruk terjadi pada portofolio PT Asabri
(persero) yang terdapat 5 emiten saham terkena kebijakan FCA. Nilai pasar saham
kelima emiten PT Asabri (persero) tersebut telah turun dalam dari Rp407,54
Miliar menjadi hanya Rp98,23 Miliar saja per 5 Juni ini.
Besarnya penurunan
nilai pasar saham imbas pemberlakukan FCA tersebut nampaknya belum akan
berhenti mengingat portofolio saham dalam penguasaan Kejagung dan PT Asabri
(persero) yang masih tertahan terkena suspensi bursa jauh lebih besar nilainya.
Berdasarkan olahan data yang dipublikasikan KSEI, paling tidak terdapat 12
emiten saham senilai Rp2,64 Triliun dalam penguasaan Kejagung dan setidaknya 5
emiten saham senilai Rp903.07 Miliar dalam kendali PT Asabri (persero)
berpotensi dibuka suspensinya dan masuk ke dalam papan pemantauan khusus. Jika
itu terjadi, maka nilai pasar saham akan turun tajam dibandingkan harga pasar
saat ini. Akhirnya, nilai kerugian
negara berpotensi akan membengkak.
*Tulisan ini telah dimuat di Knowledge Management System Kemenkeu sebagai salah satu capaian kinerja pada bulan Juni 2024.
Kristian Danang Purnomo
Posting Komentar untuk "Penerapan FCA dan Risiko Pembengkakan Kerugian Negara"