Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BPJS Ketenagakerjaan: Supermasif "Hedge Fund" & Potensi Risikonya (Part 2)

 BPJS Ketenagakerjaan: Supermasif "Hedge Fund" & Potensi Risikonya (Part 2)


“With great power comes great responsibility”- Peter Parker

    Ungkapan yang menurut saya sangat tepat untuk BPJS Ketenagakerjaan saat ini. Di saat banyak orang belum menyadari betapa besarnya aset yang dimiliki saat ini, BPJS TK dengan langkah pasti menjadi raksasa dan super power dalam industri keuangan Indonesia. Hanya tinggal menunggu waktu. 

Namun, dibalik potensi besar yang dimiliki, ia memikul tanggung jawab dan beban yang tidak sedikit pula. Di sinilah timbul risiko besar yang perlu dimitigasi, baik risiko yang berasal dari regulasi maupun lingkungan tempat tumbuh BPJS TK itu sendiri.  



Put into Perspective!

    BPJS TK berhasil membukukan pendapatan investasi terealisasi mencapai Rp29,15 Triliun dan aset Rp431,98 Triliun pada 2019. 

Let me put it into perspective for you,  itu artinya ia hanya kalah dari Bank BRI dalam keahliannya membukukan laba pada tahun lalu. BRI sendiri menjadi BUMN paling profitable dengan net income Rp34,41 Triliun, disusul Bank Mandiri dengan Rp28,45 Triliun, lalu BNI di tempat ketiga dengan Rp15,50 Triliun. BPJS TK? saya ulangi, kantongi Rp29,15 Triliun.

    Yang menjadikannya terasa spesial adalah  BPJS TK meraup hasil investasi sebesar itu hanya dengan aset sebesar kira-kira 30% aset BRI saja. Btw tahun lalu, BRI punya aset Rp1.416 Triliun dan Mandiri punya Rp1.318 Triliun berdasarkan LK audited.  

Memang benar sih tidak apple-to-apple membandingkan BPJS TK yang bentuknya sui generis dengan perusahan lain berbentuk BUMN seperti BRI-Mandiri. Poinnya adalah, saya ingin kembali lagi  mengungkapkan betapa besar aset dan profit yang dapat di-generate BPJS TK di umurnya yang baru seumur jagung itu.

    Sebagian besar aset BPJS TK merupakan aset investasi. Tahun 2019, ada Rp420,12 Triliun aset investasi yang berasal dari gabungan dana empat program yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Kematian (JKm). Secara proporsi, JHT memiliki dana investasi terbesar senilai Rp312,56 Triliun atau 83,28% dari total dana DJS, sementara JKK memiliki proporsi sebesar 7,53%, JP sebesar 6,58%, dan JKm dengan 2,61%.



Diolah, Grafik Perkembangan Nilai Investasi DJS

 

    Dana investasi itu kemudian dikembangkan ke dalam 12 instrumen investasi yang diatur dalam PP 99/2013 jo. PP 55 Tahun 2015. Saat ini, instrumen investasi terbesar ada di obligasi (baik SBN dan obligasi swasta) dengan proporsi 58,62% dari total dana DJS. Saham dan deposito berada di posisi ke dua dan tiga dengan proporsi masing-masing 18,54% dan 12,14%. Ada juga reksadana saham dengan proporsi cukup besar 9,88%. (sayang sekali laporan tahunan dan LK lengkap 2019 belum dipublikasi!). 

Meski tidak memiliki proporsi terbesar, investasi pada saham dan reksadana saham nantinya menyumbang unrealized loss on investment terbesar seiring kurang berkilaunya kinerja keuangan di Indonesia dan global di masa pandemi ini.


Risiko Investasi yang Menghantui

    Risiko paling utama yang dihadapi BPJS TK tentu adalah risiko investasi yang merupakan nature BPJS TK itu sendiri. Secara bisnis, BPJS TK adalah perusahaan investasi, meskipun secara regulasi ia masih dikenal sebagai badan hukum publik penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan. Namun, BPJS TK sedikit berbeda dengan pengelola dana investasi lainnya. Tidak seperti lazimnya perusahaan investasi lainnya, BPJS TK tidak mengenal istilah cut loss

Cut loss atau pembatasan kerugian secara umum merupakan hal yang wajar dilakukan oleh perusahaan maupun individu yang bergelut di dunia investasi. Namun, untuk kasus ini, ada suatu dualisme sudut pandang yang akhirnya memaksa BPJS TK mengambil langkah konservatif dengan tidak memberlakukan cut loss.

   

    Benar! Pandangan itu masih ada kalau setiap investasi pemerintah tidak boleh rugi. Rugi investasi berarti kerugian negara yang selanjutnya dapat dikenakan delik pidana. Pandangan itu juga berlaku untuk dana kelolaan BPJS TK, meskipun sebenarnya ia hanya mengelola dana masyarakat, bukan dana dari APBN (negara). Akhirnya, daripada mengambil risiko kena pidana, BPJS TK memutuskan untuk tidak meng-cut loss investasinya meskipun realitanya ada penurunan nilai hingga menimbulkan unrealized loss. Itulah yang dapat menjadi dilema sekaligus potensi masalah di masa datang.

    Sebenarnya, kalau kita mengambil contoh kasus Heru Hidayat dan Benny Tjokro dalam pusaran Jiwasraya, unrealized loss pun dapat jadi alasan pengenaan hukuman oleh pengadilan. Tidak harus realized loss. Agak berbeda dengan penafsiran pasal 2 ayat 1 UU Tipikor yang intinya kerugian negara kerugian negara harus bersifat nyata atau realized loss. Namun toh akhirnya mereka berdua dijatuhi hukuman seumur hidup dan diminta mengganti kerugian Rp6,07 Triliun dan Rp10,72 Triliun. 

Jadi intinya bukan karena unrealized loss dapat kena delik kerugian negara atau enggak, tetapi lebih ke mens rea-nya.

 

Unrealized Loss Besar

    Kita sudah heboh ketika mengetahui unrealized loss PT Asabri Rp4,84 Triliun tahun 2019 menghiasi media masa, tetapi belum banyak yang menyadari bahwa BPJS-TK telah mencatatkan unrealized loss kumulatif  yang lebih besar dari itu, dengan nilai mencapai minus Rp13,92 Triliun pada tahun 2018. Tahun 2019 dan 2020 tentu ada probabilitas lebih besar kalau unrealized loss-nya semakin membengkak mengingat kondisi pasar keuangan yang sempat terpuruk karena pandemi. 

Kalau harga saham dan NAB reksadana yg dimiliki BPJS TK pada tahun 2018 lalu proyeksikan dengan harga wajar semester I 2020 lalu, nilai unrealized lossnya dapat mencapai minus Rp35 Triliun. Silakan kalau mau iseng proyeksikan saham-saham dan reksadananya sendiri pake laporan tahunan BPJS TK di sini 

Tentu proyeksi itu menggunakan asumsi bahwa tidak ada perubahan nilai perolehan investasi dari 2018 s.d. Semester I 2020. Masalahnya adalah asumsi itu sepertinya tidak mungkin terjadi. BPJS TK pasti terus menjual beli saham dan reksadananya. Nilai perolehan investasi tahun 2020 pasti lebih tinggi dibanding 2018 lalu. Artinya unrealized loss per semester I 2020 lalu berpotensi lebih tinggi dari minus Rp35 Triliun. 

Namun nampaknya, masalah ini emang terjadi secara global. Saya yakin perusahaan investasi swasta juga berdarah-darah tengah tahun 2020 lalu. Dengan booming-nya pamor pasar saham mulai akhir tahun ini, saya yakin nilai unrealized loss BPJS TK akan berkurang sangat signifikan atau mungkin sudah mulai "hijau".

Yang sedikit mengganjal adalah selama ini, unrealized loss BPJS TK seolah “tidak kelihatan” karena secara akuntansi yang cukup unik. Kita perlu membaca sampai Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)-nya untuk menemukan informasi ini. 

Pada CaLK dari setiap program BPJS TK, kita akan menemukan akun Selisih Penilaian Investasi atau yang secara umum di masyarakat dikenal dengan unrealized loss on investment. Akun ini tidak akan kelihatan di laporan keuangan face atau di ikhtisar laporan keuangan yang selalu dipublikasikan mengikuti amanat PP 99/2013. Kita harus melihat laporan keuangan lengkapnya, atau minimal membaca laporan tahunannya untuk menemukan "harta karun" ini.

    Namun demikian, kita juga harus jujur kalau aset  yang dimiliki BPJS TK sangatlah besar. Realisasi pendapatan investasinya juga cukup oke, berbeda dengan kasus Asabri yang heboh kemarin. Manajemen BPJS TK sendiri nampaknya juga cukup strict dengan kebijakan investasi saham saat ini yang mana hanya boleh dieksekusi untuk saham berkategori LQ45. Hanya saja, kalau kita perhatikan seksama, masih ada investasi saham BPJS TK pada emiten di luar LQ45 seperti di Salim Ivomas dan Krakatau Steel yang merupakan bawaan dari tahun-tahun lama(Lihat laporan Tahunan 2018)

Nampaknya, manajemen masih belum melikuidasi investasi pada kedua emiten itu karena lagi-lagi terkendala kebijakan menghindari cut-loss tadi. Pada tengah tahun ini, salah satu emiten yang dimiliki BPJS TK yaitu Waskita Karya, didepak dari kelompok LQ45. Akibatnya harga saham WSKT terjun bebas. Itu artinya, ada kemungkinan nyangkut dan jika WSKT tidak kembali lagi ke LQ45 dan naik harganya, proporsi investasi saham LQ45 akan tergerus, tidak lagi mencapai 98% seperti yang diberitakan di beberapa media massa.  

IMHO, Unrealized loss pada perusahaan asuransi sebenarnya merupakan hal yang cukup wajar, sepanjang memang tidak ada mens rea-nya saja. 

Yang pasti, kalau dilihat dari sisi program, dana investasi yang berasal dari program JHT perlu mendapat perhatian. Ini karena selain dana yang dikelola paling besar, ada juga faktor regulasi yang bisa menjadi risiko organisasi.


Risiko Juga Dapat Berasal dari Regulasi

    Sebenarnya JHT ini diuntungkan karena sifatnya Iuran Pasti, tidak seperti program lainnya yang bersifat Manfaat Pasti. Iuran pasti pada intinya adalah manfaat yang diberikan kepada peserta tergantung kinerja investasi oleh badan penyelenggara. Kalau manajer investasinya berhasil mendapatkan return yang besar, maka peserta akan mendapat bagian yang besar, begitu pula sebaliknya. Cukup berbeda dengan manfaat pasti dimana ada suatu nominal/persentase/formula tertentu yang sudah pasti akan didapatkan oleh peserta. 

Jadi ada risiko lebih besar bagi manajer investasi dalam mengejar target dalam skema manfaat pasti. Meskipun bersifat Iuran Pasti, Program JHT diwajibkan secara regulasi untuk dapat memberikan manfaat terealisasi minimal. Jadi kesannya, JHT bukan Iuran Pasti murni.

    Pasal 37 pada UU 40/2014 tentang SJSN menyaratkan imbal hasil JHT minimal setara tingkat suku bunga deposito bank pemerintah jangka setahun.  Untungnya selama ini, BPJS TK selalu berhasil memenuhi target itu. Terakhir pada tahun 2019, rata-rata bunga deposito mencapai 5,10%, sedangkanhasil pengembangan JHT mencapai 6,08%. Melebihi target yang ditetapkan.

Oh iya, imbal hasil JHT yang dibagikan ke peserta tersebut berasal dari realized gain on investment. Adanya unrealized gain or loss tidak diperhitungkan sebagai bagian bagi peserta. Jadi kalau ada investasi yang nyangkut (unrealized loss), berpotensi punya dampak pada target kinerja investasinya dan manfaat bagi peserta. Kalau melihat pasar saat ini yang sempat meriang karena pandemi ini, target manfaat itu nampaknya memerlukan lebih banyak perjuangan untuk memenuhinya.

    Selain itu, ada pula POJK 1 Tahun 2016 tentang Investasi SBN yang memerintahkan BPJS TK menginvestasikan minimal 50% dana jaminan sosialnya pada instrumen SBN. Sisi baiknya adalah kebijakan ini jadi penolong BPJS menghindari unrealized loss membengkak lebih besar lagi karena penurunan IHSG kemarin. Tapi sisi jeleknya adalah sejujurnya SBN tidak menawarkan potensi return sebesar obligasi korporasi, reksandana, maupun saham. 

Jika, pasar saham dan reksadana semakin bergairah post pandemi nanti, BPJS TK akan dapat ketinggalan momentum memaksimalkan return-nya. Bisanya paling berusaha mencoba melikuidasi saham-saham yang nyangkut untuk meminimalisasi kerugian tadi. Tapi ya.. SBN kita perlu ada yang beli bos!

    Selain unrealized loss on investment, ada risiko lagi terkait defisit aktuarial dana pensiun yang dikelola BPJS TK. Defisit atau unfunded liability adalah keadaan dimana aset neto yang dimiliki saat ini lebih kecil dibandingkan present value kewajibannya (aktuarial).  Namun sepertinya risiko masih cukup lama karena sifat pensiun yang masih lama dibayarkan, selain karena program pensiun ini baru mulai dilaksanakan sejak BPJS TK berdiri, bukan seperti program lain yang telah ada sejak BPJS TK masih bernama PT Jamsostek (persero) dulu. Intinya, saat ini masih banyak yang membayar iuran, dibandingkan yang mengklaim manfaat pensiun. 

Yang jelas, masalah defisit ini perlu diantisipasi pula agar tidak menjadi bom waktu pada masa depan. Saya takutnya, jangan-jangan iuran pensiun BPJS TK memang harusnya dinaikkan untuk mengimbangi nilai manfaat pensiun yang dijanjikan BPJS TK di masa depan. 


Akhir kata, BPJS TK perlahan menjadi raksasa finansial di Indonesia. Ia bisa punya pengaruh besar dibalik larisnya SBN yang diterbitkan pemerintah. Ia juga bisa mempengaruhi pasar modal Indonesia dengan “aksi korporasinya”. Tapi dibalik kekuatan raksasanya, tersimpan risiko raksasa juga. Risiko investasi maupun risiko fiskal. 

Bukan tidak mungkin, di masa datang UU 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisisi Keuangan akan direvisi dengan memasukkan klausul industri asuransi sosial BPJS TK. Kelak, yang dapat menyebabkan krisis keuangan bukan hanya Bank Berdampak Sistemik, tapi BPJS juga punya potensi jika tidak dikelola dengan baik. Semoga semuanya semakin sukses!

 

Salam

Kristian Danang Purnomo

Jakarta, 4 & 5 Desember 2020

 

 

 



Posting Komentar untuk "BPJS Ketenagakerjaan: Supermasif "Hedge Fund" & Potensi Risikonya (Part 2)"