Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Logika Membuang 20ribu Ton Beras

Rencana Perum Bulog untuk membuang sekitar 20 ribu ton Cadangan Beras Pemerintah (CBP) membuat geger khalayak. Apabila per kilo beras dihargai Rp8.000, nilai beras yang akan dibuang sekitar Rp160 Miliar. Nilai yang cukup besar yang kemudian menjadi perbincangan seru di kalangan netizen. Beberapa media memang menggunakan kata "membuang" hingga beberapa pembaca mengartikan "membuang" berarti membuang dalam arti sesungguhnya, misal dibuang ke tempat pembuangan akhir dsb.  Apakah benar pemerintah dhi. Bulog benar membuang beras tersebut, bagaimana logikanya?...


Logika Membuang Beras
Data globalhungerindex menyebut Indeks kelaparan Indonesia berada di level 20,1 yang berarti kelaparan di Indonesia berstatus "Serious". Artinya masih banyak rakyat yang kurang makan (inadequate food supply), kurang gizi (undernutrition), dan kematian anak (child mortality). Indonesia berada di peringkat 70 dari 117 negara yang berarti jelas tidak masuk logika apabila pemerintah benar-benar membuang beras ke tempat sampah, bahkan tidak masuk etika. Belakangan diketahui kata "membuang" berarti "melepas" beras dari gudang Bulog.

Cadangan Beras Pemerintah
Beras yang dikabarkan akan "dibuang" adalah Cadangan Beras Pemerintah (CBP). CBP adalah persedian beras yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah. Sejak 2005, pemerintah mengusahakan pengadaan beras yang berbeda dengan beras operasional Bulog untuk memenuhi kebutuhan  masyarakat. Selain itu, CBP juga digunakan untuk mengantisipasi masalah kekurangan pangan, gejolak harga, dan keadaan darurat akibat bencana dan kerawanan pangan. Stok CBP dapat dimobilisasi dengan cepat jika suatu daerah mengalami bencana alam atau keadaan darurat lainnya. Kepala daerah, seperti Gubernur dan Bupati mempunyai "jatah" CBP yang dapat langsung disalurkan kepada masyarakat, tanpa menunggu pemerintah pusat. 

Begitu pentingnya CBP ini, mengingat nasi tetaplah makanan pokok penduduk indonesia. Jadi CBP perlu dikelola secara optimal dan profesional. 

Skema Pengelolaan Baru 
"Pembuangan" atau lebih tepatnya pelepasan CBP merupakan hasil dari skema baru pengelolaan CBP yang diatur dalam Permentan 38 Tahun 2018. Peraturan yang mulai berlaku tahun 2019 itu, mengatur mengenai mekanisme pelepasan CBP melalui 4 cara yaitu penjualan, penukaran, pengolahan, dan/atau hibah. Tidak ada "Pembuangan" secara harafiah di sini. Namun demikian, opsi pembuangan atau pemusnahan CBP masih bisa dilakukan. Menurut Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog sebagaimana dilansir kumparan, CBP dapat dimusnahkan bila sudah tidak dapat diolah, tidak bisa diperbaiki kualitasnya, atau tidak bisa dikonsumsi manusia atau hewan.

Alasan CBP dilepas oleh Bulog adalah sebagai sarana untuk menjaga mutu beras yang akan disalurkan ke masyarakat. Pelepasan CBP ada 2 kriteria yaitu Telah melampaui Batas Waktu Simpan (paling sedikit 4 bulan) dan berpotensi/mengalami penurunan mutu.

Sebelum penerapan skema baru ini, Bulog harus menyalurkan semua beras yang ada digudang, terlepas apakah mutunya sudah tidak bagus. Tak heran, mutu beras Bulog dikenal jelek. Bahkan pak Jokowi pun mengakuinya.



Dengan skema baru tersebut, beras yang sudah turun kualitasnya, tidak akan disalurkan oleh bulog, melainkan akan dilepas bulog. Diharapkan Bulog tidak akan lagi dikenal sebagai penyalur beras bermutu di bawah standar.

Pelepasan CBP Tak Mudah 

Lebih lanjut, pelepasan CBP pun tidak bisa dikatakan mudah dilakukan oleh Bulog. Pelepasan CBP hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pada level rapat Kemenko Perekonomian. Bulog terlebih dulu mengajukan permohonan pelepasan kepada Menteri Pertanian setelah diverifikasi surveyor. Apabila Mentan setuju, permohonan tersebut diangkat dalam rapat koordinasi terbatas pada Kemenko Perekonomian.

Di sini saya ingin menunjukkan bahwa pelepasan CBP bukan tanggung jawab Bulog sendiri. Permenko Perekonomian nomor 5 Tahun 2018 menyebutkan minimal 4 kementerian yang berperan yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN. Jadi, keputusan pelapasan CBP adalah keputusan bersama. Tak terlalu elok jika keputusan ini ditanggung jawabkan kepada Bulog semata, meskipun memang Bulog-lah yang memang paling bertanggung jawab.

Apabila dilihat dari volumenya, 20 ribu ton beras tersebut hanya  0,91% dari CBP yang berjumlah sekitar 2,2 juta ton di gudang Bulog (data per 19 November 2019). Dari sisi nilai, dengan asumsi harga perolehan Rp8.000, maka CBP yang hendak dilepas bernilai sekitar Rp160 Miliar. Perlu dipahami juga bahwa melepas 20 ribu ton beras, bukan berarti uang sebesar Rp160 Miliar hilang begitu saja.  Permenpan 38 menyebutkan 4 cara pelepasan CBP yaitu penjualan, pengolahan, penukaran, dan hibah. Anggap saja akhirnya Bulog melelang stok CBP tersebut pada harga Rp6.000 per kilo, akan ada Rp120 Miliar yang masuk kas Bulog. Adapun selisih Rp40 Miliar akan diganti Pemerintah melalui anggaran BUN 999.08.

Namun tetap saja, timbul beban APBN senilai Rp40 Miliar di situ.



Skema Baru, Senjata Bulog Bangkit

Dalam beberapa pemberitaan, disebutkan bahwa Budi Waseso (Dirut Bulog) menunggu Sri Mulyani untuk menganggung selisih harga pelepasan beras. Memang jika melihat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 88 Tahun 2019, Menkeu selaku BUN akan menganti selisih harga jual dengan harga pembelian beras (HPB). Misalnya Bulog membeli beras seharga Rp8.000 per kilo, kemudian dengan menurunnya kualitas beras, Bulog menjual beras pada harga Rp6.000. Maka, Menkeu berkewajiban membayar selisih rugi Rp2.000 kepada Bulog.

Sebenarnya, dalam hal tertentu, Menkeu bahkan mengganti 100% kepada Bulog dalam rangka pelepasan beras tersebut. Antara lain jika CBP dilepas dalam rangka keadaaan darurat dan kerawanan pangan, bantuan internasional, dan kerjasama internasional.

Skema baru pembayaran selisih harga juga diberlakukan dalam rangka pengadaan stok CBP.  Skema baru dilakukan dengan pembayaran selisih harga antara harga beli Bulog dengan harga jual dalam Operasi Pasar. Hal ini sangat berbeda dengan skema lama yang mengandalkan kapasitas anggaran.

Dalam skema lama misalnya, anggaran pengadaan CBP dalam APBN 2018 sebesar Rp2,5 Triliun hanya dapat digunakan Bulog untuk membeli 250-300 ribu ton beras. Jauh dari target pemerintah sebesar 1,2 juta ton. Berlakunya skema baru mulai tahun 2019, Bulog dengan jumlah anggaran yang sama seperti tahun 2018, optimis untuk memperoleh 1,2-1,4 juta ton CBP. Dalam skema lama, gampangnya uang Rp2,5 T buat beli beras Rp8000an per kilo. Adapun dalam skema baru, pemerintah akan membayar selisih harga perolehan dan penjualan, hingga semakin banyak beras/gabah dapat diserap Bulog. Skema baru ini, meskipun punya implikasi "buang beras" tadi, diharapkan dapat membuat Bulog semakin fleksibel dan mempunyai ruang gerak semakin luas.

Memahami Logika Buang Beras
Konsideran Permentan 38/2018 adalah "agar Cadangan Beras Pemerintah dapat dikelola baik jumlah maupun mutunya". Dari konsideran tersebut, terdapat 2 hal yang ingin dicapai yaitu Jumlah CBP yang cukup & tidak berlebih serta mutu CBP yang sesuai kriteria.

#1 Mutu Beras
Untuk meningkatkan mutu beras, logikanya, pemerintah harus (pertama) mendefinisikan kriteria beras berkualitas itu sendiri dan (kedua) membuang beras di bawah standar kualitas.

Berlakunya Permenpan 38/2018 membuat Bulog memiliki kriteria kualitas beras yang harus disimpan. Apabila beras sudah tidak memenuhi kriteria kualitas, pelepasan beras memang harus ditempuh untuk menjaga kualitas beras. Beras yang sudah disimpan terlalu lama (lebih 4 bulan) atau sudah turun mutunya perlu "dibuang". Dari sini, rencana Bulog untuk "membuang" 20 ribu ton beras jelas sangat masuk akal.

Pertanyaan pertama adalah apakah beras yang dibeli Bulog memang sudah berkualitas?

Untuk membeli gabah/beras, Bulog berpatokan pada Inpres 5 Tahun 2015. Secara ringkas, harga beli Bulog berdasarkan Inpres adalah sekitar Rp3.750 (gabah kering panen), Rp4.650 (gabah kering giling), dan Rp7.300 (beras dalam negeri) di gudang Perum Bulog.

Pertanyaan kedua adalah gabah/beras kualitas macam apa yang bisa dibeli Bulog dengan harga segitu?

Sebagai perbandingan, data BPS (1 Oktober 2019) menyatakan harga gabah kering panen adalah Rp4.905 dan gabah kering giling sebesar Rp5.522. Berselisih cukup jauh dengan harga beli Bulog berdasarkan Inpres. Yang dikhawatirkan adalah beras/gabah yang dibeli (dengan harga lebih rendah dari harga pasar) memang rentan turun kualitasnya (kalau tidak dibilang sudah rendah dari awal) hingga akhirnya perlu "dibuang".

Pastinya, pemerintah tentu memiliki beragam pertimbangan dengan belum terbitnya revisi Inpres 5/2015 tersebut. Di satu sisi, kenaikan HPP memungkinkan Bulog membeli beras/gabah dengan kualitas lebih baik, di sisi lain kenaikan HPP dapat menyebabkan inflasi. Wacana kajian HPP Inpres 5/2015 memang perlu dipertimbangkan guna menyambut mekanisme baru pengelolaan CBP dan usia Inpres yang sudah lebih dari 4 tahun. Jangan lupa bahwa inflasi 2015 s.d 2020 ini perlu diperhatikan juga. Membeli gabah/beras petani dengan harga lebih baik, pada akhirnya meningkan kesejahteraan petani pula.
Sebagai tambahan, Inpres 2015 tersebut merupakan revisi Inpres 2012 dimana HPP beras sudah naik 12%, namun inflasi pada periode bersamaan sekitar 34%

#2 Jumlah Beras

Jumlah Cadangan Beras Pemerintah saat ini kira-kira sebesar 2,3 juta ton.  Memang sangat rumit melakukan perhitungan berapa beras yang harus disediakan atau disimpan, yang selalu ada di saat dibutuhkan tetapi tidak kelebihan pada saat sedang tidak dibutuhkan. Tapi perlu diingat bahwa pengelolaan persediaan membutuhkan biaya yang tidak cukup kecil. Persediaan beras perlu gudang penyimpanan, perlu petugas pengaman, petugas administrasi dan lainnya. Itulah mengapa  Taiichi Ono yang populer dengan Lean Manufacturing pada Toyota bahkan memasukkan Persediaan kedalam salah satu dari tujuh Pemborosan (seven wastes) atau Muda. Lantas bagaimana dengan pengelolaan cadangan beras pemerintah?


Presiden Jokowi secara khusus meminta Bulog membenahi pengelolaan cadangan beras. Memang dalam dunia manufaktur, terdapat beragam metode pengelolaan persediaan  yang dikembangkan untuk menghindari penumpukan inventory, salah satu terfavorit adalah metode Just In Time (JIT). JIT memungkinkan minimalisasi persediaan untuk menghindari pemborosan, persediaan hanya diadakan sesaat sebelum persediaan tersebut digunakan untuk proses produksi atau konsumsi. Namun, jika berbicara persediaan beras, tentu akan lebih rumit.


Beras hanya diproduksi musiman, tidak seperti barang manufaktur yang bisa diproduksi serta merta sebelum akan digunakan atau disalurkan.  Bulog harus menghitung berapa banyak beras yang harus diserap di musim panen, yang harus disalurkan untuk menjaga harga, yang harus diimpor bila perlu, bahkan cadangan yang harus dimiliki untuk mengantisipasi bencana alam atau kerawanan pangan. Penulis menunggu kebijakan manajemen pengelolaan beras apa yang akan diambil Bulog. Yang jelas, hal krusial yang perlu menjadi perhatian adalah data produksi beras yang terkonsolidasi dan manajemen distribusi/logistik beras hasil pengadaan Bulog. Data yang valid pada kedua aspek tersebut, dapat memugkinkan manajemen mengambil keputusan yang semakin tepat.

Bagaimana dengan 20 ribu ton beras yang akan didisposal tadi?

20 ribu ton beras yang akan didisposal kemungkinan memang berasal dari pengadaan beras tahun 2018. Guna memenuhi kebutuhan beras masyarakat dan program beras sejahtera (Rasta), pemerintah memang membuka keran impor beras yang jumlahnya naik secara signifikan dibanding tahun 2017. Namun perubahan kebijakan dari beras rasta ke menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) pada Mei 2019 membuat Bulog harus berpikir lebih keras mengelola cadangan beras mereka.

BNPT ini menggantikan penyaluran beras langsung menjadi uang dalam kartu yang diberikan pemerintah. Melalui uang itu, masyarakat dibebaskan untuk membeli kebutuhan pokoknya seperti beras (yang kualitasnya lebih baik dari beras Bulog kebanyakan), minyak goreng, telur hingga daging. Memang saat ini, mungkin saja Bulog belum bisa memenuhi beras dengan kualitas yang diinginkan peserta BNPT. Namun kembali lagi, pemberlakukan Permenpan 38/2019 bertujuan meningkatkan kualitas beras Bulog.

Apa Selanjutnya?

Tahun 2018, produksi padi nasional mencapai 33 juta ton, namun hanya sekitar 10%-nya yang diserap Bulog. Mekanisme baru memang memungkinkan Bulog lebih fleksibel membeli lebih banyak beras. Namun, dalam pasar beras, Bulog bukanlah penguasa pasar sendirian. Ada pihak swasta yang memiliki peran cukup dominan dalam menentukan harga pasar beras nasional ini. Yang mungkin terjadi dengan kekuatan finansial baru Bulog adalah meningkannya permintaan beras, dibandingkan produksi beras petani yang cukup stabil beberapa tahun ini. Akibatnya harga beras bisa saja naik.

Namun sebelum lebih jauh, ada baiknya memperjelas peran Bulog itu sendiri, menjadi badan pencari profit atau badan penstabil harga beras. Ketika HPP beras oleh Bulog masih belum berubah atau tidak ada keinginan Bulog terjun ke pasar beras premium, pihak swasta sepertinya cukup santai menghadapi kompetitor dengan kekuatan baru itu, yaitu Bulog.


Opini Pribadi
Jakarta, 3 Januari 2019
Kristian Danang Purnomo

Posting Komentar untuk "Memahami Logika Membuang 20ribu Ton Beras"